Jumat, 09 November 2012

Sejadahku, Teritorialku


Gambar 1:
Masjid Baiturrahman, Banda Aceh

          Tulisan ini terinspirasi ketika saya siang tadi melaksanakan shalat jum'at berjamaah di Mesjid Nurul Huda, Cicadas Bandung. Waktu itu saya agak terlambat sehingga menempati posisi shaf  paling belakang. Saat tiba di mesjid, khotib mulai beranjak naik mimbar dan mengucapkan salam tanda shalat jum'at akan dimulai. Setelah itu, muadzin pun mulai mengumandangkan adzan. Saya tidak langsung duduk, saya berdiri terlebih dulu sampai kumandang adzan selesai untuk melakukan shalat tahiyatul masjid terlebih dulu. Pada saat momentum berdiri inilah saya menyaksikan fenomena unik yang terjadi di sana. Yakni ketika para jama'ah sibuk menggelar sajadahnya masing-masing. Seorang bapak paruh baya tampak begitu serius menata sejadahnya agar tidak menutupi sajadah orang lain. Begitupun ketika pinggir sejadahnya tertutupi oleh sejadah orang lain, ia segera menarik sejadahnya ke sisi lain agar tergelar sempurna tanpa tertutupi. Akhirnya, mereka baru bisa duduk manis bersila setelah sejadahnya benar-benar tergelar rapih.



Gambar 2:
Saat ini, sejadah pun memungkinkan untuk menjadi salah satu sumber konflik.

       Masalah utama dari fenomena tersebut bukan terletak ketika mereka begitu serius menggelar sejadahnya masing-masing. Namun yang menjadi permasalahan adalah ketika mereka duduk di atas sejadahnya. Kenapa? Karena ukuran sejadah yang mereka bawa dari rumah relatif besar-besar. Hal itu menyebabkan ruangan mesjid menjadi sedikit daya tampungnya. Sedangkan ruangan mesjid itu sendiri saya nilai relatif sempit. Sehingga jama'ah lain yang datang terlambat tidak kebagian tempat di dalam mesjid dan akhirnya duduk di teras. Keadaan tersebut terus berlangsung sampai pada saat melaksanakan shalat jum'at. Jama'ah dengan bangganya berdiri di atas sejadah masing-masing. Anjuran Nabi untuk merapatkan dan meluruskan shaf, seolah tidak berlaku pada mereka. Padahal bila saja mereka mau membiarkan sejadahnya tertutupi oleh yang lain, saya yakin setidaknya dalam satu shaf masih tersedia ruang bagi lima orang jama'ah untuk menampung mereka yang terpaksa duduk di teras mesjid. Namun, saya tidak mendapati hal tersebut sampai shalat jum'at pun berakhir. 

         Fenomena itu mengingatkan saya pada materi batas teritorial negara yang disampaikan dosen saat  perkuliahan mata kuliah Geografi Politik. Dalam perkuliahan itu dijelaskan berbagai macam alasan mengapa setiap negara begitu teguh mempertahankan batas teritorial dari gangguan negara lain. Salah satu alasan yang kuat adalah keberadaan sumberdaya alam. Adanya kekayaan sumberdaya alam di wilayah perbatasan, terkadang menimbulkan konflik karena negara lain mengklaim wilayah yang bukan miliknya sebagai miliknya dengan berbagai alasan. Tentunya hal tersebut dilakukan atas dasar melimpahnya kekayaan sumberdaya baik berupa minyak ataupun mineral yang bernilai tinggi. Sehingga negara tersebut berani mengambil langkah ekstrim yang sudah barang tentu akan menimbulkan reaksi keras dari negara yang merasa terganggu integritasnya. Alhasil, konflik terus meruncing dan melebar menimbulkan keresahan pada masyarakat di kedua negara. Apalagi bila akhirnya perang dijadikan solusi akhir ketika jalan diplomasi menemui kebuntuan. Sebagai contoh adalah konflik Malaysia - Indonesia pada tahun 1962 saat terjadi konfrontasi di masing-masing perbatasannya.

            Konflik perbatasan negara antara Indonesia dan Malaysia, tentunya tidak bisa dikaitkan begitu saja dengan peristiwa sejadah. Namun, saya tetap menemukan satu gejala yang sama, yaitu masing-masing tidak ingin diganggu wilayah teritorialnya. Mengapa saya katakan wilayah teritorial? Karena pada kenyataanya mereka begitu hati-hati agar sejadahnya tidak menutupi atau tertutupi oleh sejadah lain. Entah karena bahan sejadahnya yang terlalu bagus, atau takut kotor oleh sisi bawah sejadah lain. Yang jelas tidak ada alasan baku untuk membenarkan sikap tersebut. Sikap seperti itu saya nilai sebagai suatu bentuk penyimpangan  dan penentangan terhadap sunnah Nabi. Padahal tanpa membawa sejadah pun, pihak pengurus mesjid sudah menyediakan karpet yang bersih dan nyaman untuk diduduki. Kejadian ini saya anggap sebagai gejala psikologi akut yang terjadi di jaman sekarang. Mungkin bisa saja timbul rasa tidak enak bila sejadahnya  tertutupi sejadah lain walau pun sedikit, atau karena perasaan tidak enak bila sejadahnya menutupi sejadah orang lain. Kedua kemungkinan tersebut bisa dibolak-balikan tergantung pribadi yang merasakannya. Tapi sejauh ini saya menduga sikap tersebut merupakan hasutan dari Setan kepada manusia agar barisan shof renggang dan tidak lurus, sehinga dengan mudah Setan dapat mengganggu kekhusyuan sholat berjamaah dengan menyusup pada barisan yang renggang. Sikap tersebut harus kita buang jauh-jauh dari diri kita. Jangan sampai hawa nafsu mengalahkan logika. Karena bila sikap itu terus dipelihara, kelak dapat merugikan diri kita sendiri dan orang lain.



Gambar 3:
Memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan pengurus mesjid, adalah pilihan terbaik untuk menjaga keikhlasan dan kerendahan hati ketika melaksanakan sholat berjama'ah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar